Pemerintah Lemah Bangun Infrastruktur Jalan Tol

Memang parameter ekonomi yang diciptakan para ahli ekonomi sanggup menenangkan pihak berkuasa atau Pemerintah. Parameter seperti "tingkat kemiskinan" "tingkat pengangguran" "pendapatan nasional neto" dan bla...bla...bla... banyak istilah ekonomi.

Suatu pemerintahan disuguhi angka statistik "berhasil menurunkan prosentasi tingkat pengangguran 0.7%", itu sudah menjadi kebanggaan. Padahal rakyat sejatinya tidak tertarik dengan angka-angka seperti itu. Rakyat lebih tertarik dengan istilah lebih positif seperti "dibuka pabrik baru di Lampung membutuhkan 5000 tenaga kerja", "Kenaikan jumlah perumahan sederhana di Jabodetabek sebesar 7%"  atau "bertambahnya panjang jalan tol 1000 kilometer".

Mengapa istilah ekonomi makro tidak menarik bagi rakyat adalah karena parameter makro demikian digeneralisasi dari banyak parameter ekonomi yang tidak sepenuhnya menjadi 'konsern' masyarakat.

Kami tidak membahas lebih jauh soal makro ekonomi, karena banyak pakar ekonomi dan sarjana ekonomi yang paham luar dalam soal ini. Yang disoroti pada tulisan super pendek ini adalah kontribusi pembangunan oleh Pemerintah, lebih khusus pada infrastruktur.

Jika kita mengajukan tanya sederhana "Berapa kilometer jalan tol telah bertambah selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini?", maka jawabnya "Tidak sampai 200 km". Karena sesuai informasi ketambahan jalan tol hanya :

- Tol Cijago di Depok panjangnya +/- 4 (empat) kilometer
- Tol Semarang Solo seksi Semarang Bawan panjangnya +/- 20 (dua puluh) kilometer
- Tol di atas laut Benoa-Nusa Dua panjangnya +/- 15 (lima belas) kilometer
- Tol Kanci Pejagan panjangnya +/- 35 (tiga puluh lima) kilometer
- Tol Surabaya Mojokerto seksi Surabaya ke Sidoarjo panjangnya +/- 2 (dua) kilometer
- Tol Kebon Jeruk-Ulujami Jorr W2 Utara panjangnya +/- 7 (tujuh) kilometer
- Tol Sentul-Kedunghalang Bogor panjangnya +/- 4 (empat) kilometer
- Tol Cipularang - Bandung panjangnya +/- 100 (seratus) kilometer.
 
Apa sumbangan Pemerintah bagi persoalan itu? Pemerintah memang membantu dana pembebasan tanah, berupa pinjaman lunak kepada investor tol untuk membebaskan tanah, dan ketika jalan tol mulai dioperasikan dana itu segera dikembalikan. Dan oleh Pemerintah akan dijadikan dana bergulir bagi jalan tol lainnya.

Bantuan ini memang signifikan dan membantu dari segi finansial. Namun ada kelemahan mendasar bahwa Pemerintah dengan modal undang-undang yang tersedia, dan infrastruktur pemerintahan, type pemerintahan dan operasi pemerintah tidak menunjukan keberhasilan yang nyata dalam skala besar untuk membebaskan tanah.  Karena by ndang-undang Pemerintah lah yang bertugas membebaskan tanah, dan diserahkan kepada investor. Prestasi Pemerintah dalam soal ini sangat jelek, lamban.

Kelemahan ini terus bertambah seiring waktu dan ketamakan spekulan. Semakin tanah itu ditunda pembebasannya, semakin harganya naik, semakin terbangun pemikiran spekulasi dimaskarakat, semakin memberi kesempatan orang untuk bersatu mempermahal harga.  Dan diperunyam dengan masuknya provokator yang disinyalir dibeking oleh pemerintah daerah.

Hal kedua, adalah Pemerintah tidak punya cukup dana untuk masuk memodali investor jalan tol.  Perlu diketahui dana modal jalan tol sangat besar. Anda bayangkan saja membangun jalan tol sepanjang 20 (duapuluh) kilometer saja investor butuh Rp. 2 (dua) triliun, artinya 30 (tiga puluh) persen disiapkan oleh si investor dengan uang sendiri selebihnya nyari pinjaman ke mana-mana. Nah yang 30% ini kudu disediakan sendiri duit dari kantong investor sendiri. Berapa nilainya ? gede dong Rp. 600 miliar.    

Pola pendanaan jalan tol saat ini tidak menyertakan Pemerintah dalam self financing (pembiayaan sendiri) itu bukan karena apa-apa, karena Pemerintah tidak punya dana untuk itu. Jadi Pemerintah hanya bisa ngasih pinjaman buat beli tanah, dan akan dikembalikan disertai bunga ringan disebut di atas itu.

Singkat kata pola pembangunan jalan tol diserahkan murni kepada pola bisnis swasta, yang bertumpu pada sistem ada untung finansial, ada barang.  Meskipun Pemerinta ikut masuk tak langsung melalui BUMN investor tol seperti Jasa Marga dan Hutama Karya, tapi pola keputusannya tetap pola bisnis murni.

Hal inilah yang sangat menghambat. Ibarat kata Pemerintah tidak punya cukup uang untuk menunjang pembangunan ini selain menyerahkannya kepada swasta. Artinya sebenarnya jalan tol itu tidak mendapat sokongan yang cukup besar dari Pemerintah secara finansial dan kekuatan untuk pembebasan tanah.

Bandingkan dengan negara China dimana Pemerintah (dominan dana negara) telah membangun jalan tol (express way & high way) sepanjang total 1.240.000 (satu, dua empat juta) kilometer (data tahun 2008 - Wikipedia), dan Pemerintah dan swasta Indonesia baru sanggup membangun jauh kurang dari 1.000 (seribu) kilometer (dominan dana swasta). dan faktanya, jalan tol baru diperkenalkan adanya pada tahun 70-an. Sebut saja Tol pertama Indonesia yaitu Jagorawi dibangun pada tahun 1978.

Nggak usah terlalu jauh perbandingannya dengan negeri sepupu jiran Malaysia, dikatakan jaringan jalan tolnya termasuk terbaik di Asia di bawah China dan Jepang. Total panjangnya hampir mencapai 2.000 (dua ribu) kilometer. Padahal luas negaranya sendiri di semenanjung Malaya itu tidak lebih besar dari pulau Sumatera saja.

Padahal infrastruktur jalan tol menyumbangkan kontribusi besar bagi ekonomi, karena jalan tol memberi andil distribusi barang akan menjadi sangat lancar dan biaya murah. Bayangkan saja Pelabuhan tersibuk di Indonesia, Tanjung Priok, jaringan transportasinya sangat tidak lancar. Truk2 harus melewati jalan umum, bersama segala macam kendaraan lain termasuk sepeda motor.  Baru-baru ini sudah dibangun Harbour Toll Road, tapi belum beroperasi, masih dalam tahap penyelesaian. Dikatakan harga distribusi di Indonesia termasuk yang termahal di Asia. Itulah yang menyebabkan harga barang mahal di tingkat masyarakat.

Jika anda tahu jalan paling maut di Indonesia dengan tingkat kecelakaan tertinggi, itulah "Jalan Maut Cacing", jalan Cakung-Cilincing di Jakarta Utara. Truk Kontainer terbesar yang bisa anda bayangkan berderetan berjalan lambat, berat, berdebu, disampingnya kendaraan kecil, sedan, dan ... motor .... berjalan berdampingan.  Maka kecelakaan pun sering tak terhindar, karena pengendara motor sering tak sabar ingin melewati truk-truk raksasa itu, dan pengemudi truk memiliki banyak "blind spot" maka kombinasi mencelakakan itu pun berujung kecelakaan lalin bagi pengemudi motor. Ini satu ekses negatif dari jaringan jalan tol yang buruk.

Jadi apa yang dapat kita harapkan dari Pemerintah? Rakyat awam hanya boleh berkata "Cape deh dah nunggu puluhan taon, jalan tol kagak nambah panjang".






   

Comments

Popular Posts